“Ini adalah kisah tentang anak perempuan di sebuah desa tandus yang
bernama Nglebak, Blora, Jawa Tengah. Pengalaman saya menjadi relawan
pengajar selama 4 tahun di desa tersebut, mendorong saya untuk
menuliskan kisah ini. Kisah tentang nasib anak perempuan di pulau Jawa
yang masih tertinggal. Berpendidikan rendah, dan tubuh yang kemudian
menjadi aset yang diperjualbelikan.”
Saya menjadi tertegun, saat seorang anak didik saya mengakui bahwa
dirinya tengah hamil dengan laki – laki yang lebih dewasa darinya.
Padahal usianya saat itu masih 14 tahun serta masih duduk di bangku
kelas 2 SMP. Ini yang membuatnya berhenti sekolah. Ternyata ini tidak
hanya terjadi pada anak didik saya saja, tetapi juga terjadi pada
sebagian besar anak perempuan di desa ini.
Lingkungan yang Tak Bersahabat pada Perempuan
Adalah mata pelajaran Tehnik Informasi Komputer, atau disingkat TIK,
itulah tugas mengajar saya. Meskipun sekolah tersebut tidak memiliki
computer tetapi Ini menjadi tantangan tersendiri bagaimana
mengimajinasikan bahan ajar tanpa adanya alat ajar, inilah Indonesia.
Selain itu, saya juga mengajar mata pelajaran seni budaya, ini adalah
kesukaan saya.
Iya saat itu saya berkesempatan menjadi relawan pengajar di sebuah
sekolah bertempat di desa Nglebak Kabupaten Blora. Desa ini terletak di
pegunungan kapur yang tandus dan membentang dari Ngawi hingga ke Jawa
Tengah, walaupun masih ada rerimbunan pepohonan yang mengelilingi desa
ini.
Namun apabila musim penghujan berhenti, air sungai mengering begitu juga
dengan air di sumur – sumur penduduk desa. Lahan desa yang luas hanya
bisa ditanami oleh tanaman Jati, itupun bukan milik penduduk tetapi
milik PERHUTANI. Sebuah perusahaan umum milik negara yang selalu
menggunakan dalih bagi hasil kemitraan meskipun nyatanya, tidak
demikian.
Sulitnya lahan dijadikan lahan pertanian mendorong penduduk di desa
Nglebak lebih banyak bermata pencaharian sebagai penambang pasir di
daerah aliran sungai, dengan pendapatan dibawah UMR. Ya paling hanya
bisa untuk makan. Saya sebenarnya khawatir lama kelamaan ini akan
merusak kondisi alam di daerah aliran sungai itu. Namun perlu upaya
keras untuk mengubahnya apalagi dengan keterbatasan saya.
Lingkungan yang tak bersahabat inilah yang membuat penduduk disana,
terutama para perempuan minim punya akses di tanah pertanian. Padahal
jika tanah pertanian bisa digarap perempuan, kondisi ekonomi mereka akan
lebih baik.
Tubuh Perempuan sebagai Aset
Bagi sebagian penduduk lainnya, mereka akhirnya akan lebih memilih
merantau ke kota dengan berbekal pendidikan dan keahlian seadanya. Tidak
sedikit perempuan diantaranya terjebak dalam pelacuran.
Iya memang tingkat pendidikan di desa Nglebak sangat rendah, sangat
sedikit yang menempuh pendidikan hingga Sekolah Menengah Atas. Apalagi
anak perempuan, berpendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) saja itu
sudah cukup.
Bagi mereka untuk apa anak perempuan bersekolah tinggi, toh juga akan
beraktifitas di dalam rumah untuk melayani suami dan keluarganya.
Sebagian dari mereka menganggap tubuh anak perempuan adalah aset yang
dapat menghasilkan uang. Beberapa diantaranya telah menjadi korban dari
tuan – tuan tanah, dengan menjadikannya sinden sekaligus penjaja hasrat
seksual.
Ada kebanggaan dari keluarga jika anaknya bisa menghasilkan uang yang
banyak dari menyinden tersebut meskipun usianya masih belia sekitar 12
tahunan. Sebab bisa mengangkat kesejahteraan keluarganya. Sayapun
teringat dengan cerita novel berjudul ronggeng dukuh paruk yang ditulis
oleh Ahmad Tohari. Ternyata kisah novel itu ada di dalam dunia nyata
yang telah saya saksikan
Yang membuat saya semakin gusar adalah aktifitas seksual yang dilakukan
oleh anak perempuan sudah menjadi pewajaran. Mereka bisa melakukannya
dimana saja seperti di kebun, di hutan atau di rumah. Bahkan sudah
lumrah jika seorang laki – laki dewasa bersama – sama tinggal dengan
seorang anak perempuan di rumah.
Bagi saya bukan soal ketabuannya tetapi terkait dengan kesehatan
reproduksi anak perempuan tersebut yang belum matang apabila terjadi
kehamilan nanti. Bahkan laki – laki tersebut akan mendapatkan pujian
jika anak perempuan tersebut hamil
Belum lagi potensi kekerasan yang akan terjadi pada perempuan. Kuatnya
tradisi Samin di sekitar desa tersebut dimaknai berbeda dalam kehidupan
domestik. Perempuan tidak boleh melawan apabila terjadi kekerasan pada
dirinya. Padahal Samin Suryosentiko, orang yang pertamakali menerapkan
tradisi masyarakat Samin menerapkan perlawanan terhadap pemerintah
kolonial Belanda dengan tidak membayar pajak/upeti seperti yang
dimintakan.
Perempuan seperti benda, yang tidak memiliki jiwa untuk memilih dan bebas menentukan untuk dirinya sendiri.
Perempuan Harus Sekolah
Pendidikan merupakan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan yang
terjadi di desa Nglebak. Tenaga ajar yang minim, pendidikan kesehatan
reproduksi usia dini dan akses pendidikan yang belum mengakomodir
kebutuhan masyarakat menjadi prioritas permasalahan yang harus segera
diatasi. Karena pendidikan bagi masyarakat di desa ini akan membebaskan
mereka dari tradisi yang menjerat perempuan. Perempuan tak boleh sekolah
tinggi, harus di rumah, bekerja menghasilkan uang sebagai penjaja
seksual. Dan orangtua yang bangga dengan anak perempuannya karena bisa
menghasilkan uang. Mereka tak memikirkan keinginan anak perempuan,
kesehatan reproduksinya dan hidupnya kelak. Seolah jika sudah beranjak
dewasa, anak-anak perempuan adalah tanggungjawab suami atau laki-laki
yang menghamilinya.
Persoalan lain, anak-anak perempuan seolah diberikan ruang untuk masuk
ke dunia prostitusi anak karena mereka akan menghasilkan uang bagi
keluarganya. Uang selain akan membuat ekonomi keluarga lebih baik, juga
seolah sebagai tradisi bahwa ‘anak perempuannya sudah berhasil’ membawa
uang untuk keluarga. Ini merupakan tradisi kebanggaan yang menjerat
perempuan.
Disinilah kita melihat tubuh perempuan digunakan sebagai aset. Tak boleh
sekolah tinggi, tak punya akses ekonomi dan akhirnya tubuh sebagai aset
jual beli.
Saya-pun berpikir mengapa kondisi perempuan di desa pulau Jawa saja
seperti ini, yang katanya lebih dekat dengan pusat kebijakan
kesejahteraan? Ini seolah sudah seperti cerita klasik yang sudah sering
kita baca dan lihat.
Bagaimana kisah anak perempuan di desa – desa yang berada di pelosok
luar pulau Jawa? Apakah sama? Ataukah lebih buruk lagi kondisinya? Ini
terus menerus menjadi pertanyaan yang mengusik saya.
(Foto: langitperempuan.com)
*Sofyan Wimbo, adalah mahasiswa pascasarjana Pidana Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), Solo, Jawa Tengah.